Minggu, 25 Januari 2015

Hidup Bersanding Bukan Bersaing

Dalam proses menjadi Indonesia, setidaknya ada tiga tahapan yang menjadi tonggak sejarah amat penting untuk diacu kembali untuk menata kerangka pikir bangsa yang kini sedang dalam kondisi krisis di segala bidang. Termasuk bagian dari krisis itu adalah masalah kesatuan bangsa yang cenderung retak.
Pertama, 20 Mei 1908 yang menjadi tonggak sejarah karena berdirinya organisasi kemasyarakatan yang berpaham kebangsaan.
Kedua, Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang menjadi luar biasa bersejarah karena ketika itu para pemuda dari berbagai etnis berikrar menyatukan diri dalam satu wadah, Tanah Air Indonesia.
Ketiga, Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1945 saat Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia menyatakan kepada dunia bahwa berbagai suku bangsa yang pada 1928 telah berikrar menjadi satu bangsa merdeka.
Dari balik ketuga peristiwa itu terpancar sinar keikhlasan masing-masing suku bangsa untuk bersepakat mengubah statusnya dari suku bangsa menjadi bangsa. Sebagai contoh, dalam hal penerimaan bahasa daerah Melayu-Riau sebagai bahasa nasional tercermin betapa tingginya rasa ikhlas dan toleransi itu.
Data jumlah pemakai bahasa suku bangsa pada tahun 1930 menunjukkan bahwa pemakai bahasa Jawa merupakan jumlah yang paling tinggi (47,02%), bahasa Sundasebanyak 14,53%, sementara bahasa Melayu hanya 4,97%  dari jumlah penduduk Nusantara saat itu. Tetapi, baik masyarakat Jawa, Sunda, Madura, Bali, Batak, Bugis, dan lain-lain menerima dengan ikhlas dan sepakat untuk menjunjung tinggi bahasa Melayu-Riau sebagai bahasa nasional.
Rasa ikhlas itu kini semakin menipis. Hampir setiap aktivitas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berlangsung dan diakhiri dengan tindakan mencerminkan tidak adanya keikhlasan apalagi toleran. Saling menuding, menyalahkan, menjatuhkan, menyerang, merusak, membakar, menyakiti, melukai hingga menghilangkan nyawa orang seperti menjadi hal yang biasa.
Krisis yang terjadi mencerminkan adanya pergeseran tentang apa hak dan kewajiban warga negara untuk hidup bersama dalam ikatan satu bangsa. Mereka tak lagi menjunjung prinsip hubungan bersanding, tetapi bergeser ke arah hubungan bertanding. Bila dalam prinsip bersanding akan tercipta hubungan dalam kesejajaran untuk saling menghargai dan menghormati, dalam bertanding lebih dalam posisi berlawandan bersaing untuk mendapatkan kemenangan. Model kehidupan dalam suasana pertandingan terjadi tidak hanya di lapis   bawah, tetapi merebak ke segala tingkatan.
Hubungan antarsuku bangsa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada hakikatnya adalah hubungan persandingan, karena masing-masing suku bangsa memiliki budaya yang berbeda. Konsep pemikiran hubungan persandingan yang telah diletakkan para pendiri bangsa sangat tepat dan bijaksana karena fokusnya adalah pada pemahaman masyarakat. Meskipun berbeda-beda, pada hakikatnya satu, Bhinneka Tunggal Ika. Justru dengan banyaknya perbedaan itulah akan lahir sebuah mozaik yang indah,unik dan menarik.(oleh K Soeprapto, direktur Pengembangan NIlai-nilai Kebangsaan Depdagri)
Disarikan dari artikel  dengan judul yang sama dalam rubric Opini, Media Indonesia, Kamis 14 Desember 2006  

     


Tidak ada komentar:

Posting Komentar